Oleh: M. Ichwan
Saya sudah membaca dokumen APBD maupun info resmi dari pemerintah. Saya juga telah melihat alokasi anggaran di lembaga amil zakat, infaq dan sedekah.
Banyak pula sodara atau kawan saya mendapat beasiswa. Baik dari negara, dari lembaga/yayasan atau dari perusahaan swasta.
Semuanya ada syarat "miskin". Yaitu beasiswa hanya untuk orang miskin. Lebih khusus miskin yang berprestasi. Yaitu bantuan biaya pendidikan bagi siswa/mahasiswa yang orang tuanya miskin.
Kriteria miskin pun sangat beragam. Tidak pernah sama. Dan selalu saja masalah pemerintah adalah soal data. Karena standar penentuan miskin yang dipakai berbeda-beda. Ada versi Badan Pusat Statistik, ada versi Dinas Sosial, ada versi Bank Indonesia. Yang paling lucu adalah kriteria miskin "rumah harus belantai tanah".
Di Kota besar jelas tidak ada rumah berlantai tanah. Karena tempat kos kumuh di pinggir kali saja pasti diplester semen atau lantai keramik. Karena jika tidak dipasang ubin, air pasti merembes dan seluruh ruangan basah semua.
Sedangkan fakta di banyak sedulur saya, rumahnya berlantai tanah tapi kaya raya. Punya kebon, sawah dan tegal berhektar-hektar. Dan punya ternak sapi, kambing dan domba satu kandang. Rumahnya berlantai tanah karena memang cocok dengan iklim desa.
Yang lebih lucu lagi, dalam anggaran beasiswa di dokumen APBD ada istilah miskin. Tetapi dalam anggaran pembangunan pakai istilah "Keluarga Pra Sejahtera". Tidak boleh ada kata miskin.
Mestinya kriteria miskin itu salah satunya "Tidak Punya Rumah". Karena faktanya banyak orang tidak mampu beli rumah. Secara, kebutuhan primer adalah pangan, sandang dan papan. Yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sering saya mendengar, pengajuan beasiswa ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat miskin.
Yaitu ayah dan ibunya si siswa berpretasi itu, tingal di rumah orang tuanya. Sedangkan orangtuanya masuk dalam kategori mampu.
Di sisi lain, saya sering bertemu dengan anak-anak pintar yang berprestasi. Mereka butuh sekolah setinggi-tingginya karena otaknya encer dan sangat berpotensi menjadi orang bermanfaat untuk bangsa dan negeri.
Orang tuanya tidak miskin. Tidak masuk kategori miskin. Karena punya pekerjaan dengan penghasilan sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Tepatnya pas-pasan.
Dan jika ada salah satu anggota keluarga sakit, pasti langsung jatuh miskin. Karena penghasilan si kepala keluarga hanya cukup untuk makan dan setahun sekali membeli pakaian.
Si keluarga ini juga tidak mampu kalau membayar jutaan rupiah untuk masuk sekolah. Sebab tidak punya tabungan sedikitpun dari penghasilannya. Jika terpaksa harus membayar jutaan, itu hanya bisa dilakukukan dengan cara hutang.
Jika hutang di bank atau bahkan rentenir, maka hidupnya jadi terjerang utang. Sehingga justru semakin rawan menjadi miskin. Anak mereka tekun belajar dan ortunya yang berani tirakat, maka punya prestasi bagus. Namun sekolahnya tidak bisa berlanjut karena tidak pernah mendapat beasiswa. Begitulah kura-kura dan kupu-kupu dan belalang, siang makan nasi kalo malam minum susu.
0 Komentar