IKLAN

DomaiNesia

RKUHP, UNTUNG RUGINYA BAGI MASYARAKAT?


Jakarta, IndonesiaNews.my.id (3-10-2021) - Forum Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UI (Forluni) melangsungkan Kongkow Gerakan II, Minggu, 4 Oktober 2021. Acara yang diprakarsai Forluni, FixJakarta.com, dan Rumah Inspirasi mengangkat tema “RUU KUHP, untuk apa & siapa?” dilangsungkan virtual.

Achmad Solechan, M.Si. selaku Ketua Umum Forluni UI menyatakan RKUHP menjadi menarik, dimana kita ketahui bersama bahwa gelombang gerakan mahasiswa tahun 2019 di DPR waktu itu salah satunya menolak tentang keberlakuan Pasal kontroversional RKUHP. Diskusi semacam ini semoga terus tetap berlanjut, untuk dapat menambah khazanah keilmuan kita bersama. 

Diskusi mendatangkan Pemateri, Sahabat Roziqin, Dosen UNUSIA Jakarta, yang juga alumni PMII UI. Terkait dalam  muatan delik Pidana, negara lain dalam kecendrungan tidak melakukan pidana fisik tetapi meminalisisir perampasan kemerdekaan, bahwa menghilangkan pidana hukuman mati. Ada satu persepsi terkait dengan hukuman mati yang tidak sama sekali merugikan kejahatan. Sebagai salah satu contoh China yang menerapkan hukum mati bagi koruptor mencata indeks korupsi tidak bagus-bagus sekali jika dibandingkan dengan Singapura tidak menganut hukum mati. 

Dalam KUHP dan RKUHP Indonesia yang menjadikan Pidana Mati sebagai jenis pidana khusus menjadi titik perdebatan untuk diterapkan. Sebaliknya bahwa pelaku korupsi yang diatur dalam hukum pidana hari ini diuntungkan, dimana pelaku korupsi sekian milyar atau triluan selama bertahun-tahun, jika dikonversi dengan masa tahanan yang diberikan bisa dikatakan untung bagi sang koruptor. 

Saya sendiri pesimis dengan beberapa lembaga yang melakukan korupsi, tetapi bahwa dengan berlaku dan tidak berlakukannya hukuman mati akan menambah rasio korupsi. Titik tolak disana memang bagaimana edukatif tentang pencegahan dan pelaku korupsi bisa diterima baik oleh masyarakat.  

Hal tersebut sesuai dengan cita penjara yang disebut rumah pemasyarakatan, dimana untuk memasyarakkan para pelaku tindak pidana.

RUU KUHP hari ini mengadopsi hukum adat yang berlaku, untuk ditetapkan sebagai hukum nasional. Hal ini tentu menjadi baik, dimana beberapa hukum adat di daerah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan bisa disesuaikan kembali. 

Terkiat dengan kumpul kebo dan kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal baru yang diatur disini, ini menjadi titik penolakan beberapa kalangan masyarakat termasuk Pasal tentang penghinaaan Presiden yang dinilai dapat menjadi pasal karet yang membungkam kebebasan berekspresi. 

“Apa yang menjadi perdebatan nantinya, kita sebagai masyarakat jangan ragu untuk mengadakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tetapi bahwa sebelum itu berlaku, kita harus dapat juga dapat berkontribusi dalam rancangan ini. Langkah diskusi semacam ini tentu lebih efektif daripada dengan melakukan aksi demontrasi yang pada akhir tidak terbuka ruang untuk berdiskusi juga merubah persepsi di DPR. 

Dalam hal ini tentunya NU yang sebagai organisasi yang besar harus mengambil andil dalam perumusan ini, juga bisa sebagai partner pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang RUU KUHP yang mau diterapkan ini baik melalui seminar atau pengajian-pengajian tertentu.

Pemateri kedua, Sahabat Erfandi S.H, M.H., yang juga dosen UNUSIA, alumni Magister FH UI, menyatakan ide tentang konsolidasi tersebut menurut saya memiliki potensi yang besar, untuk memasukkan ide kepada DPR. Sebab RUKHP saat ini, masuk dalam kategori carry over, sehingga pembahasan tentang ini tidak terulang dalam masa kepengurusan DPR selanjutnya. 

Rencana tentang pemberlakuan RUU KUHP oleh DPR, saat ini, perlu kiranya teman-teman Sahabat/I dapat memberikan kontribusi dan masukan-masukan ide kepada DPR. Ini lebih baik daripada menurunkan masa aksi. 

RUU KUHP ini adalah bentuk politik hukum, dimana perdebatan didalamnya hal yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa. 

Rancangan Kitab Hukum Pidana saat ini dimksud untuk menggantikan Wetboek van strafrecht yang telah dikodifikasi dengan UU No.1 Tahun 1946. Sejak diberlakukannya 75 tahun silam, usaha ini dalam rangka pembangunan hukum nasional yang selaras dengan UUD 1945. Upaya ini adalah dekolonialisasi melalui rekodifikasi hukum. 

RKUHP ini adalah cita-cita bangsa untuk mempunyai hukum nasional sendiri yang akan segera terwujud. Bahwa kita sebagai NU harus bersuara dan mengambil dalam penyusunan juga dalam bersuara dalam 10 Pasal yang dinggak beberapa kalangan sebagai Pasal kontrovesial. Konsolidasi tentang peran serta kita sebelum disahkan menjadi Undang-Undang sangat penting. Dalam hal ini kita perlu adanya kongkrit Sahabat-Sahabati dari Depok.  

“3 Pasal dari 11 Pasal yang dianggap kontroversial apakah sudah sesuai dengan nilai ke-NU-an kita dan nilai  kebangsaan yang kita anut yakni nasionalis religious. Lantas juga kalau RUU KUHP ini berlaku apakah benar persepsi beberapa kalangan yang menyatakan rasa nasionalisme kita tumbuh, tetapi satu sisi demokrasi kita merosot dan tergerus? Papar Erfandi dalam diskusi tersebut. Dalam Pasal yang ada dalam RUU KUHP tidak bertentangan dengan prinsip bernegara Kita. Saya kira perdebatan muncul ranah professional tertentu, semisal tentang ancaman delik pidana khusus”. 

Erfandi juga menambahkan, bahwa ini adalah semangat kebangsaan Kita, dimana mengadakan perubahan hukum adalah baik. Terlebih bahwa Hukum Pidana saat ini Belanda punya, dan kita hendak akan rekodifikasi dengan nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa kita. (Red)  


Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu