IKLAN

DomaiNesia

Lepas Dari Cengkeraman Macan, Masuk Kandang Singa dan Buaya

 *Lepas dari Cengkeraman Macan, Masuk Kandang Singa dan Buaya*




Nama Mardani H. Maming diumumkan sebagai Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmad 2022 - 2027. Beberapa pihak tersentak, kaget, tidak menduga Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan itu masuk ke dalam kepengurusan NU. Kesan janggal menyeruak karena PDIP sebagai partai relatif tidak begitu “berkeringat” di tim pemenangan KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya pada Muktamar ke-34 NU lalu. Bagaimana mungkin kemudian kader partai itu bisa diakomodir, bahkan mendapatkan posisi strategis? 


***** 

Seorang kawan  berkabar ke saya beberapa hari selepas muktamar di Lampung selesai digelar. Berbekal sedikit info yang saya tahu bahwa dia ada di kubu tim pemenangan Gus Yahya, saya sampaikan ucapan selamat atas capaian yang diperolehnya. Dengan gayanya yang khas dia berkekeh dengan menyebut dirinya adalah santri, yang hanya _nderekake_ apa kata kiai. Dalam percakapan selama hampir satu jam lamanya, kawan saya ini banyak mengungkap fakta apa dan bagaimana Gus Yahya bisa keluar sebagai pemenang kontestasi. 


Dari sejumlah hal yang disampaikan, kawan saya menyimpulkan kekalahan KH. Said Aqil Siroj atau Kang Said tak lepas dari hilangnya simpul-simpul dukungan yang di muktamar sebelumnya beliau pegang, mulai dari birokrasi hingga konglomerasi. Dukungan dalam konteks ini adalah kekuatan yang kemudian menggerakkan para pemilik suara dalam menentukan pilihannya. 


Saya tidak akan mengulas hilangnya dukungan dari birokrasi kepada Kang Said, karena hal-hal mengenai itu sudah tergambar dengan gamblang dan bisa dibaca dengan mudah. Kawan saya mengatakan, di Muktamar ke-34 NU lalu kelompok konglomerat pelaku usaha pertambangan bersatu untuk tidak mendukung Kang Said. Dia bahkan menyebut nama seorang pengusaha sebagai operator yang menjalankan tugas komando lapangan. Hasilnya sebagaimana kita ketahui bersama, Gus Yahya unggul mutlak dari Kang Said dalam 2 tahap pemungutan suara. 


Kekuatan uang pada sebuah kontestasi ibarat (maaf) kentut, tercium tapi tak nampak. Termasuk di perhelatan Muktamar ke-34 NU lalu. Ada kode-kode di arena yang bisa dijadikan indikasinya, seperti “sarapan di lantai delapan”, “mobil _box_ di kampus Universitas Malahayati”, hingga yang sempat _viral_ soal tertukarnya sendal kiai di lokasi pemungutan suara. Di sinilah peran para konglomerat, menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk mengarahkan pilihan kepada kandidat tertentu. 


Serpihan-serpihan yang saya jahit akhirnya menjadi jawaban ketika susunan kepengurusan PBNU diumumkan. Penunjukan Mardani H. Maming sebagai bendahara umum bukanlah representasi PDIP, tapi perwakilan dari unsur konglomerat. Mantan Bupati Tanah Bumbu itu memang pelaku usaha pertambangan. Jika kemudian PDIP ikut menangguk untung atas penunjukan ini, tak lebih itu adalah bonus karena pria dengan dua anak itu adalah Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan. 


*NU Jadi Tidak Dibawa ke Politik?* 


Majalah _Tempo_ dalam artikel berjudul “Mengapa NU dan PKB Pisah Jalan?” yang dimuat akhir pekan lalu mengulas pernyataan Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, yang tak akan lagi menganakemaskan PKB sebagai satu-satunya partai politik yang di-_endorse_ dalam langkah perpolitikan NU. Di paragraf berbeda pada artikel yang sama dikatakan juga NU akan membuka diri bagi kader-kader partai di luar PKB untuk mengabdi di dalam organisasi. 

Tidak akan menjadikan NU sebagai kendaraan politik bukan sekali itu saja disampaikan oleh Gus Yahya. Dalam _roadshow_  yang dilakukannya ke redaksi-redaksi media massa pers di tahap pencalonan lalu, mantan juru bicara presiden RI ke-4, Abdurrahman Wachid itu juga menekankan hal yang sama. Dengan tegas Ia bahkan berjanji tidak akan ada calon presiden atau wakil presiden dari NU pada kontestasi tahun 2024 mendatang. 


Untuk menjawab benarkah NU tidak akan terlibat dalam politik praktis, rasanya tidak perlu menunggu sampai 2024 datang. Dengan melihat susunan kepengurusan PBNU saat ini saja, rasa-rasanya kok janji yang disampaikan Gus Yahya dalam kampanyenya lalu hanya akan tinggal janji. Itulah kenapa pepatah “Lepas dari Cengkeraman Macan, Masuk Kandang Singa dan Buaya” saya jadikan judul pada opini ini. Dugaan saya, cawe-cawe NU pada perpolitikan mendatang bahkan akan semakin kental, yang di saat bersamaan keberpihakan terhadap masyarakat awam berkurang karena telah masuknya oligarki di dalam kepengurusan. 


Relasi NU dan PKB mendatang sepertinya tidak akan benar-benar putus sebagaimana yang dikatakan Gus Yahya dalam wawancaranya dengan jurnalis _Tempo_. Simak saja di daftar pengurus harian PBNU, di sana ada nama Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag. sebagai Wakil Ketua Umum Tanfidziyah, yang konon memiliki irisan  dengan Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum DPP PKB. Atau lewat jalur birokrasi, di mana Nizar adalah Sekjend Kementerian Agama yang saat ini dimpimpin oleh Yaqut Cholil Choumas, yang tak lain adalah kader PKB dan adik kandung Gus Yahya. 


Bahwa PBNU di bawah kendali Gus Yahya tidak akan lagi menganakemaskan PKB kemungkinan besar demikian adanya, karena saat ini ada kader-kader partai lain di dalam kepengurusan, antara lain Nusron Wahid sebagai Wakil Ketua Umum. Golkar, partai tempat Nusron berkhidmad sebagai politisi memang layak diakomodir mengingat ada “keringat” yang dikeluarkannya untuk membantu kesuksesan Gus Yahya di muktamar. Indikasinya bisa dengan mudah ditemukan. Mulai dari kedatangan Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, ke arena Muktamar H-2 pelaksanaan, kehadiran Sekjend Partai Golkar, Lodewijk F. Paulus di pembukaan dan sepanjang jalannya muktamar, hingga sepak terjang Nusron sendiri yang begitu kentara sejak pelaksanaan muktamar masih menjadi tarik ulur di tahap persiapan. . 


Keterikatan NU dengan politik akan semakin terasa dengan keberadaan Mardani H. Maming sebagai Bendahara Umum. Seperti sudah saya sebutkan di atas, meski dia masuk ke dalam kepengurusan sebagai representasi konglomerat penyokong Gus Yahya, kedudukannya sebagai Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan tentu tidak bisa dipisahkan begitu saja. Konon, DPP PDIP bahkan telah memerintahkan kadernya itu untuk bisa membangun kekuatan tertentu di dalam NU untuk melicinkan kepentingan partai. Caranya adalah dengan menempatkan orang-orang pilihan ke dalam susunan Lembaga/Badan Otonom NU. 


Misi PDIP itu akan semakin mudah dijalankan setelah sosok Nasyirul Falah Amru, anggota DPR RI Fraksi PDIP juga ada di daftar Ketua PBNU. Sosok Falah bukanlah orang baru di kepengurusan PBNU, karena dia sebelumnya menjabat bendahara di dua periode kepemimpinan KH. Said Aqil Siroj. Dengan kini menduduki posisi ketua, gerak untuk menopang kepentingan partainya tentu dapat dijalankan dengan lebih lincah. 


Jangan lupakan juga PPP. Di dalam kepengurusan PBNU kali ini setidaknya ada 2 nama politisi partai berlambang ka'bah, yaitu Taj Yasin  dan Chairul Saleh Rasyid. 


Susunan kepengurusan PBNU 2022 - 2027 tidak hanya merefleksikan masih kentalnya kepentingan politik. Kini ada pula kekuatan oligarki di dalamnya yang dapat dilihat dari sosok sang bendahara umum, Mardani H. Maming. Sebagaimana sudah saya sebutkan di atas yang merupakan informasi dari kawan, keberadaan Mardani H. Maming adalah representasi konglomerat pelaku pertambangan yang sebelumnya bersatu untuk bahu membahu menyukseskan pencalonan Gus Yahya. Keberadaan Mardani di sini juga harus dilihat secara utuh, bahwa dia tidak sendiri, melainkan representasi dari sebuah "konsorsium" pertambangan yang tentu mengusung misi. Belum lagi soal jet pribadi yang digunakan Gus Yahya dalam konsolidasi pencalonan dan keberangkatannya ke Lampung, yang konon adalah milik seorang pengusaha tambang kenamaan. Semoga pilihan memasukkan oligarki ke dalam kepengurusan tidak menjadikan NU kehilangan kemampuan bersuara dan bersikap kritis terhadap sisi gelap dunia pertambangan sebagaimana yang selama ini sudah ditunjukkan. Atau jika sebaliknya ternyata yang terjadi, ini menjadi pukulan bagi kelompok pejuang pelestarian lingkungan yang kehilangan dukungan. 


*Optimisme Gus Yahya* 


Pada sesi tanya jawab dengan jurnalis yang meliput momen pengumuman susunan kepengurusan PBNU, Gus Yahya _keukeuh_ menolak anggapan NU di bawah kendalinya akan larut dalam politik praktis. Keberadaan sejumlah nama politisi justeru diklaimnya sebagai strategi untuk menjadikan NU bisa menjaga jarak dengan politk praktis. Caranya, kader partai yang beragam ini diminta saling menjaga agar NU tidak ditarik untuk kepentingan tertentu. Sepintas cara ini memang bisa dijalankan, karena para politisi itu tentu tidak akan membiarkan NU dijadikan kendaraan oleh partai tententu. Pengaplikasiannya tentu tak akan semudah merencanakannya. Ditambah lagi keberadaan oligarki yang tentunya mengusung tujuan tertentu yang akan menjadikan tugas Gus Yahya bertambah berat. 


Kini seluruh warga NU hanya bisa mengucapkan selamat berkhidmad kepada sosok-sosok terpilih. Semoga mampu bekerja sesuai dengan janji yang disampaikan di kampanyenya: Menjadikan NU semakin besar!. 




* Penulis adalah kader muda NU, seorang _freelance journalist_.


Sumber: Nahdliyin Network WA Group

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu