Renungan Hardiknas 2024.
PENDIDIKAN BERMUTU UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING BANGSA
(Bagian pertama)
by
A. Hanief Saha Ghafur
Sekolah Kajian Stratejik & Global, Universitas Indonesia
Basis dari pendidikan bermutu sejatinya adalah karakter kepribadian yang cerdas & mencerdaskan. Pendidikan bermutu yang mencerdaskan bukan semata kebutuhan, tetapi sekaligus hak bagi setiap warga negara untuk memperolehnya. Prinsip ini adalah amanat yang termaktub dalam Pembuatan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Sisdiknas 2003. Pendidikan bermutu dikembangkan melalui pembelajaran bermutu. Pendidikan bermutu harus mampu mengembangkan kecerdasan pada seluruh dimensi diri dan kepribadian manusia seutuhnya (insan kamil), baik cerdas IQ, EQ, & SQ. Kepribadian "manusia seutuhnya" yang multidimensi, bukan "one dimensional man" kata Herbert Marcuse. Untuk itu, manusia harus terus belajar tanpa henti untuk mencerdaskan diri sepanjang hayat, dari buaian ibu sampai ke lubang lahad.
Kebutuhan terhadap pendidikan yang bermutu dan mencerdaskan selalu berbeda dari zaman ke zaman. Kebutuhan mutu terus bergerak dan berubah, juga spesifikasi dan kualifikasinya terus meningkat. Kebutuhan mutu di zaman kolonial tentu berbeda di era kemerdekaan, dan era kecerdasan artifisial di masa depan. Spesifikasi mutu dan kualifikasi kompetensi adalah suatu yang niscaya dan tidak bisa dikompromikan. Apa yang dulu bermutu, sekarang sudah dianggap ketinggalan zaman. Bahkan dianggap usang dan tidak bermutu. Berkompromi "apa adanya" dengan mutu adalah suatu tindakan tidak bermutu. Sedikit bermutu itu tidak cukup bermutu. Cukup bermutu adalah tidak cukup bermutu. Kita harus berubah dari sekedar cukup bermutu menjadi unggul mutu (quality excellence).
Mendidik dan memberi pembelajaran tanpa mutu (dari segi konten, proses, dan metodenya) berarti itu sama dengan membagi-bagi ketidak-bermutuan atau ketertinggalan mutu (quality loss function in education). Begitupula perluasan akses pendidikan melalui peningkatan APK & APM, tanpa mutu dan perbaikan mutu, maka itu sama artinya dengan membagi-bagi ketertinggalan mutu dan membagi-bagi kebodohan bersama-sama. Mengapa demikian? Sebab pendidikan yang tidak bermutu dapat menjadi "instrumen penebar" untuk berbagi-bagi kebodohan bersama-sama kepada anak bangsa (education as an instrument to share of stupidity among nations).
Menjadi orang "baik-baik saja" itu tidak perlu bersaing. Memperolehnya juga tidak sulit dan semua orang bisa melakukan itu. Namun untuk menjadi insan cerdas dan bermutu itu perlu kemampuan & daya saing (competitiveness). Prinsip kompetisi berbasis mutu, kompetensi, dan daya saing perlu dibuka untuk semua. Khususnya dalam semua satuan dalam pendidikan kita. Kemampuan dan daya saing inilah yang seharusnya menjadi karakter diri dan kepribadian bangsa di masa depan. Mengapa ini penting? Sebab kemampuan & daya saing inilah yang menjadi kunci keunggulan mutu di seluruh dunia. Bahkan WIPO, ECOSOC, & INSEAD selalu merilis index kemampuan daya saing bangsa-bangsa di dunia. Negara-Negara maju di dunia menjadikan kemampuan & daya saing sebagai materi penting dalam mata pelajaran pendidikan karakter di sekolah. Namun sayang seribu sayang bagi Indonesia. Sebab kata daya saing (competitiveness) tidak tercantum dalam nilai-nilai karakter yang ada dalam PERPRES No.87/2017 dan turunannya tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Salam satu hati satu tekad untuk pendidikan Indonesia yang bermutu & berkarakter.
Jakarta 2 Mei 2024
HSG
0 Komentar