IKLAN

DomaiNesia

SUDAHKAH INDONESIA MENCAPAI PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF?

SUDAHKAH INDONESIA MENCAPAI PERTUMBUHAN EKONOMI INKLUSIF?

Oleh: Ninasapti Triaswati, M.Sc., Ph.D.
Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Anggota Komite Ekonomi Nasional/Tim Penasehat Presiden 2010-2014, Anggota Dewan Pengawas Badan Penyelelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan 2014-2016
__________________________________________________________________________________
Keberhasilan kebijakan ekonomi suatu negara pada umumnya dinilai dengan tercapainya “pertumbuhan ekonomi inklusif” yaitu pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menghasilkan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk mempersiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 dijelaskan bahwa untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 dapat ditempuh antara lain melalui (i) penguatan sumber daya manusia agar produktif, inovatif dan berdaya saing; (ii) penguatan hilirisasi untuk meningkatkan aktivitas ekonomi yang bernilai tambah tinggi dan transformasi ekonomi hijau; (iii) penguatan inklusivitas untuk akselerasi pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejateraan; (iv) melanjutakan pembangunan infrastruktur pendukung transformasi ekonomi, (v) penguatan birokrasi dan regulasi; (vi) penguatan ekonomi kreatif dan kewirausahaan untuk meningkatkan akses pekerjaan yang berkualitas; (vii) penguatan pertahanan dan keamanan serta memperkuat kemandirian melalui ketahanan pangan, energi dan (viii) penguatan nasionalisme, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). 

Dokumen tersebut juga menegaskan bahwa “… Upaya mewujudkan cita-cita besar menjadi negara maju pada tahun 2045, mensyaratkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di atas 6.0 persen per tahun …” Hasil Rapat Kerja Pemerintah dengan DPR tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) pada awal Juli 2025 telah menyepakati beberapa target makroekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi 2025 berada di kisaran 5,1 sampai dengan 5,5 persen;  tingkat inflasi 1,5 hingga 3,5 persen; nilai tukar Rupiah terhada Dolar Amerika Serikat sebesar Rp 15.300 sampai Rp 15.900. Rapat tersebut juga telah menyepakati beberapa sasaran dan indikator pembangunan yaitu tingkat kemiskinan diturunkan menjadi 7 sampai 8 persen, tingkat kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen; rasio gini menjadi 0,379 hingga 0,382; sedangkan tingkat pengangguran diturunkan menjadi 4,5 hingga 5 persen; serta  nilai tukar petani 115 hingga 120 dan nilai tukar nelayan 105 hingga 108. Hasil rapat tersebut juga mengharapkan pemerintah dapat meningkatkan “kualitas belanja”, artinya belanja yang lebih efektif atau lebih tepat sasaran, dan lebih efisien artinya lebih hemat.

Seluruh hasil kesepakatan pada pembahasan KEM-PPKF APBN 2025 tersebut merupakan “harapan” seluruh rakyat Indonesia terhadap pemerintahan baru hasil Pemilihan Umum 2024, baik di tingkat nasional maupun daerah. Inti dari harapan terhadap pertumbuhan ekonomi inklusif tersebut bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Sejak Orde Reformasi dimulai pada tahun 1998, harapan tentang terwujudnya pertumbuhan ekonomi inklusif yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan jiwa dari Orde Reformasi ketika menggantikan Orde Baru.

Konsep pertumbuhan ekonomi inklusif juga sudah menjadi tujuan pembangunan pemerintahan Republik Indonesia periode 2020-2024. Capaian pembangunan yang dilaporkan dalam dokumen KEM-PPKF juga sudah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini sudah berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbuka dan sekaligus menurunkan tingkat kemiskinan. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Februari 2024 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka secara rata-rata sudah menurun dari 5,24 persen pada Februari 2023 menjadi 4,82 persen pada Februari 2024. Tingkat pengangguran terbuka adalah persentase jumlah pengangguran terbuka terhadap jumlah Angkatan Kerja. Angkatan Kerja adalah jumlah penganggur terbuka dan jumlah pekerja.

Pengangguran terbuka menggambarkan sejumlah orang yang sedang mencari pekerjaan namun tidak  bekerja atau  tidak mendapat pekerjaan pada saat BPS melaksanakan SAKERNAS tersebut. Konsep penduduk “pengangguran terbuka” adalah penduduk tidak bekerja dan: a) sebulan yang lalu aktif mencari pekerjaan atau mempersiapkan suatu usaha, dan siap/bersedia bekerja dalam selang waktu dua minggu kedepan; b) sebulan yang lalu aktif mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha dan jika seminggu terakhir ada tawaran pekerjaan siap/bersedia menerima; atau 2 (dua) minggu ke depan siap/bersedia; c) tidak mencari pekerjaan dengan alasan sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja, dimulai pekerjaan tersebut dalam kurun waktu kurang dari 3 (tiga) bulan ke depan dan mengaku saat ini dalam kondisi siap atau bersedia untuk segera bekerja dalam selang waktu dua minggu ke depan. Konsep “bekerja” menurut SAKERNAS BPS adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam. Termasuk ke dalam konsep bekerja adalah orang yang sementara tidak bekerja.

Ada beberapa catatan penting terhadap laporan KEM-PPKF tersebut yang melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi secara rata-rata meningkat, tingkat pengangguran terbuka menurun, serta tingkat kemiskinan secara rata-rata juga menurun.

Pertama, walaupun tingkat pengangguran terbuka turun namun jumlah setengah pengangguran justru meningkat dari 9,59 juta menjadi 12,11 juta pada periode Februari 2023 sampai dengan Februari 2024 terakhir tersebut.  

Setengah penganggur adalah penduduk yang sudah bekerja namun jam kerjanya kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan. Mengapa seseorang yang sudah bekerja masih mencari pekerjaan ? Artinya walaupun sudah bekerja, orang tersebut “tidak puas” dengan pekerjaan yang dimilikinya saat ini. Sesuai definisi pekerja, yaitu orang yang bekerja paling sedikit selama satu jam dalam satu minggu terakhir saat SAKERNAS dilaksanakan, maka orang tersebut  ingin mencari pekerjaan lain yang jam kerjanya lebih panjang, lebih dari satu jam per minggu.

Kedua, walaupun tingkat pengangguran terbuka turun namun seseorang bisa saja bekerja tapi “tidak puas” karena berada dalam status “pekerja sektor informal” sehingga masih ingin mendapatkan pekerjaan yang berstatus “formal”. Pekerja sektor formal adalah pekerja dengan status pekerjaan sebagai: (i)  Buruh/karyawan/pegawai dengan pendapatan tetap; (ii) Berusaha dengan pekerja tetap. Pekerja sektor informal adalah pekerja dengan status pekerjaan sebagai: (i) Berusaha sendiri; (ii) Berusaha dibantu buruh tidak tetap atau pekerja keluarga/tidak dibayar; (iii) Pekerja bebas di pertanian (dalam arti luas yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan/kelautan); (iv) Pekerja bebas di non-pertanian; (v) Pekerja keluarga/tidak dibayar. Berdasarkan data SAKERNAS Februari 2024 hanya sekitar 40,8 persen pekerja dari 142 juta pekerja yang memperoleh pekerjaan formal, sekitar 59,2 persen pekerja berada di sektor informal.

Ketiga, walaupun tingkat kemiskinan secara rata-rata menurun dan rasio gini di Indonesia secara rata-rata menunjukkan perbaikan pemerataan, namun ternyata terjadi kesenjangan antar kelompok pendapatan dalam berbagai periode pemerintahan di Indonesia sejak Reformasi 1998 ketika menggunakan analisis pertumbuhan antar kelompok pendapatan berdasarkan data BPS Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS); yaitu tampak pada gambar grafik berikut ini.




Pada periode 2014-2019, pertumbuhan ekonomi tampak inklusif yaitu (lihat garis hijau), kelompok terkaya (persentil pendapatan 80-100% tertinggi) ternyata pertumbuhan pendapatannya positif namun lebih rendah jika dibandingkan kelompok berpendapatan menengah (20-80%). Pada periode 2019-2022 (lihat garis merah pada Gambar berikut) ternyata pertumbuhan ekonomi tidak inklusif, kelompok terkaya (pendapatan 80-100% tertinggi) ternyata pertumbuhan pendapatannya sangat tinggi dan positif, jika dibandingkan dengan kelompok berpendapatan menengah/menengah atas (40-80%) yang justru pertumbuhan pendapatannya negatif (menurun). Sedangkan kelompok miskin (0-40% termiskin dan menengah bawah) pertumbuhan pendapatannya positif namun rendah.

Pertumbuhan ekonomi inklusif merupakan target pembangunan yang dinamis, sehingga merupakan tantangan bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 di tingkat nasional maupun daerah untuk menghasilkan pembangunan perekonomian yang merata bagi tiap kelompok pendapatan.

*****


Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu