IKLAN

DomaiNesia

STRATEGI KEBUDAYAAN DAN RESTORASI UNTUK KEMAJUAN BANGSA

STRATEGI KEBUDAYAAN DAN RESTORASI UNTUK KEMAJUAN BANGSA
(Belajar dari Pengalaman Turki, Jepang, & Indonesia)

                             
Usai Perang Dunia ke-2 banyak bangsa di dunia menyatakan lepas & merdeka dari penjajah dengan mendirikan negara-bangsa. Apa yg dilakukan mereka setelah menjadi entitas suatu bangsa dan punya negara ? Mereka lalu melakukan revolusi kebudayaan (Tiongkok), restorasi (Jepang), modernisasi (Turki), dll. Jepang dan Turki punya obsesi sama terhadap kemajuan dan kemoderenan, tapi dengan pendekatan dan metode yg berbeda. Bagaimanakah hasilnya? Dengan obsesi yg sama dan metode berbeda, ternyata hasilnya juga berbeda.

TURKI punya pengalaman sejarah dengan sentuhan dua kebudayaan besar.  Yaitu kebudayaan Eropa & Asia,  khususnya Timur Tengah. Turki Usmani (Ottoman) menjajah hampir seluruh Eropa Timur. Tinggal masuk ke pintu gerbang Jerman Raya di Wina. Namun belum tuntas pasukan Turki di Wina dipanggil pulang. Setelah Turki Usmani jatuh 1924, maka Kemal Attaturk (pendiri Republik & Bapak Turki modern) ambil inisiatif untuk melakukan modernisasi mendasar dan besar-besaran.

Strategi kebudayaan yang diterapkan Turki adalah modernisasi dengan meniru Eropa. Sayang yg ditiru hanya budaya kemasan & bentuk kulit permukaan (overt culture) dari peradaban Eropa. Seperti kulit kemasan dari gaya hidup, mode, jas-dasi, pantalon, dsb. Bukan substansi pendorong kemajuan Eropa. Bukan pula kekuatan ekstrinsik dari kemajuan Eropa, seperti kemampuan iptek & kekuatan ekonomi-industri. Juga bukan kekuatan interinsik berupa etik & karakter etos yg mendorong kemajuan Eropa, seperti kerja sebagai panggilan hidup (calling/ beruf) dan karakter etos kerja keras, cerdas, & kreatif sebagai fondasinya. Turki melakukan perubahan kebudayaan tanpa upaya perubahan terhadap substansi & signifikansi struktural-nya.

Modernisasi Turki berbeda dengan Restorasi Meiji di Jepang. Kemajuan JEPANG dimulai sejak restorasi Meiji 1866- 1869 dan terus berlanjut hingga tahun 1921. Restorasi ini bermula diakibatkan oleh Perjanjian Shimoda & Perjanjian Towsen Harris yg dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat. Restorasi Meiji berdampak besar terhadap perilaku dan budaya masyarakat Jepang. Tak semata kulit kemasan & permukaan. Tetapi Restorasi ini mengubah kesejatian "manusia Jepang" menjadi baru yg berbeda dari sebelumnya.

Strategi kebudayaan yang diterapkan adalah mengadopsi & mengadaptasi dengan cerdas dan kreatif kemajuan Amerika dan Eropa. Mengambil dua kebudayaan "super culture" berupa kemampuan Iptek & kekuatan ekonomi dan mengubahnya menjadi industri. Dengan tetap menyaring gaya hidup & budaya Barat yg rendah dan dekaden. Menurut Ezra Vogel,  Meiji berarti "kuasa pencerahan" dengan mengapresiasi kemajuan Barat dan tetap memelihara dan mengembangkan tradisi, adat-istiadat, serta kearifan nilai-nilai luhur "ketimuran Jepang" secara harmonis. Basis budaya kaum Bhosido, kepercayaan Tokugawa, dan Buddhisme Zen menjadi etika hidup & ethos kerja keras diberlakukan secara masif di masyarakat. Restorasi Meiji menjadi instrumen struktural, penggerak dan akselerator utama dari kemampuan Iptek & industrialisasi di Jepang. Tanpa perlu menjadi Barat secara budaya. Motor utama penggeraknya adalah kaum Samurai yg berdisiplin dengan ethos Bushido sebagai modal kulturalnya. Bahkan basis budaya itu pula yg melahirkan kebangkitan militerisme Jepang pada tahun 1905. Dari sinilah bermula sejarah kemajuan iptek & industrialisasi masif di Jepang. Termasuk sejarah giat penjajahan Jepang ke berbagai kawasan di dunia.



Suatu pembelajaran menarik dari sejarah Jepang adalah bagaimana integrasi nilai-nilai tradisi, adat, dan kepercayaan keagamaan menyatu secara harmonis dengan agenda restorasi, kemajuan, dan kemodernan. Bagaimana karakter ethos dari Agama Shinto dan Buddhisme Zen memberi daya perintah terhadap perilaku sukses, motivasi berprestasi, dan semangat berkemajuan. Semua itu dipadukan dengan kehidupan asketik (zuhud), kesederhanaan, kerja keras & cerdas. Nilai luhur inilah yg menjadi kekuatan penata endogen (endogen regulatory forces) yg ditanamkan dan menjadi karakter kuat pada perilaku masyarakat Jepang. Robert N. Bellah menyebutnya sebagai "alur etos kepercayaan" (stream of ethical belief) yg berkontribusi kuat bagi kemajuan Jepang pada mula kemajuannya.

Bagaimana dengan Indonesia ?  INDONESIA setelah merdeka juga terjadi debat tentang strategi kebudayan apa yg perlu dibangun untuk kemajuan Indonesia masa depan. Debat kebudayaan ini bisa direpresentasikan dari 2 pemikiran besar antara Ki Hajar Dewantara dan Sutan Takdir Alisjahbana. Bagi Takdir kemajuan Indonesia masa depan, bila mampu menapaki jejak-jejak sejarah kemajuan Barat. Sebab kemampuan Iptek & kekuatan ekonomi miliki muatan budaya yg tidak bisa dipisahkan dari para pelakunya. Begitu pula sebaliknya. Keduanya saling menopang antara satu dengan yg lain. Hingga kini masih banyak para pengikut dari aliran pemikiran Takdir ini, dengan acuan kemajuan Barat sebagai referensinya.

Beda dengan Takdir adalah pemikiran Ki Hadjar Dewantara yg menyodorkan solusi harmoni terhadap "bi polar" antara kemampuan Iptek dan kekuatan ekonomi pada satu sisi dengan substansi dan muatan kulturalnya pada sisi yg lain. Ki Hajar Dewantara menyodorkan konsep perpaduan "Trikon" untuk mengharmoniskan "bi polar kebudayaan" antara keduanya, yaitu :
a). Konvergensi budaya antara kemampuan mengembangkan budaya bangsa sendiri & menyerap kemajuan peradaban bangsa lain.
b). Konsentris dengan mengadopsi & mengadaptasi kemajuan peradaban bangsa lain dengan tetap menjadikan budaya kita sendiri sebagai pusat atau pilar orientasi pengembanganya. 
c). Kontinyuiti atau keberlanjutan dengan terus-menerus menjaga dan memelihara kesinambungan antara pelestarian dinamis & pemajuan kebudayaan. 

Bagi Ki Hadjar setiap bangsa miliki potensi dengan variable kemungkinan-nya sendiri untuk menjadi maju. Tanpa perlu mengambil begitu saja (taken for granted) dan melakukan konformitas imitatif untuk meniru kemajuan peradaban bangsa lain. Tak perlu seperti Turki yg ingin maju dengan cara menjadi Barat. Juga jangan seperti Saudi Arabianya MBS yg memajukan negara sekedar dari perkara sumir, permukaan, & tanpa menyentuh aras terdalam dari mentalitas & kepribadian bangsa. Tanpa merevitalisasi kekuatan penata endogen dari karakter etosnya. Tetapi semua berpotensi gagal untuk maju seperti kemajuan Jepang dan negara-negara Barat yg lain. Hingga kini Turki sering diledek sbgai orang Eropa yang sakit (the sicknessman of Europe). Namun menarik untuk belajar kepada kebangkitan Jepang & kecerdasan kreatif Korea Selatan dalam mengejar ketertinggalannya. Mereka berdua sukses menjadi bangsa maju tanpa perlu menjadi Barat. Dengan mengapresiasi hidup harmoni antara budaya timur, adat, & tradisi yg tetap lestari dengan sisi kemajuan Iptek, industrialisasi, & pembangunan ekonomi.

Namun sayang debat panjang antara dua pemikiran itu di Indonesia belum menemukan signifikansi struktural-nya bagi restorasi, modernisasi, kemajuan bangsa, dan negara kita. Baik dari segi basis fundamental sebagai suatu kekuatan etik dan karakter etos bangsa yg maju & modern. Seperti etos kerja keras, kerja cerdas, dan berdisiplin. Etos kerja bermutu dan berkarakter. Etos kerja cerdas, kreatif, & innovatif. Revolusi mental & pembangunan karakter bangsa yang dicanangkan masih sekedar jargon dan wacana. Masih besar kesenjangan antara ide dan wacana dengan perilaku dan praktik hidup yg berlaku di masyarakat. Belum menjadi pembelajaran kuat yg dapat mengalirkan darah segar bagi nasionalisme dan patriotisme di semua tingkatan dan lapisan masyarakat. Wacana itu belum terimplementasi secara sistematis, masif, dan terstruktur. Belum menjadi karakter etos yg memiliki daya perintah terhadap perilaku individu & tindakan kolektif dari semua anak bangsa. Kita tunggu tokoh hebat yg dapat menggerakkan itu semua bagi kemajuan bangsa dan negara.
Salam dan sukses untuk kita semua.
(HSG)

Kontributor:
A. Hanief Saha Ghafur 
Sekolah Kajian Stratejik & Global, Universitas Indonesia





Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu