Oleh Prof. Dr. Nur Syam
Sebagai orang NU, sebenarnya saya speechless. Akhir-akhir ini NU memang membikin banyak berita. Berseliweran pemberitaan tentang NU. Sungguh tiada hari tanpa pemberitaan tentang NU. Melalui media sosial yang tiada berhenti menginformasikan apa saja, sampai media mainstream banyak pemberitaan tentang NU. Hanya sayangnya pemberitaan tersebut kebanyakan memiliki konten yang terkait dengan NU yang sedang berada di dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
NU memang sedang berada di dalam nuansa “ujian”. Berbagai informasi tentang NU lebih banyak dimensi “minusnya” dibandingkan dimensi “plusnya”. Tentu pandangan ini dihasilkan dari pencermatan atas berbagai informasi yang merebak akhir-akhir ini.
Memang media sosial merupakan instrumen untuk menginformasikan segala hal, baik yang positif maupun negative. Semuanya dapat dikemas sesuai dengan kepentingan masing-masing. Ada berita yang merupakan fakta apa adanya, dan ada berita yang coraknya analisis dan terkadang dieksagerasikan sedemikian rupa. Melalui proses eksegerasi, maka yang sesungguhnya berita kecil saja akan tetapi bisa menjadi seolah-olah besar.
Akan tetapi masyarakat yang sedang berada di era keterbukaan informasi, dan bahkan berkecenderungan menjadi jurnalis pada diri masing-masing, maka berita menjadi semakin simpang siur dan antara fakta dan komentar atau antara fakta dan analisis nyaris tidak bisa dibedakan, kecuali kita memang berusaha untuk memahaminya berdasarkan atas preferensi yang kita miliki. Demikian pulalah berita di seputar NU itu. Ada empat berita yang akhir-akhir ini mengedepan tentang NU.
Pertama, berita keterputusan nasab Ba’alawi yang terus menggelinding hingga dewasa ini. Polemik nasab ini memang menyita banyak pihak antara yang pro pembatalan nasab dan yang menolak pembatalan nasab. Mereka yang pro pembatalan nasab Ba’alawi adalah pro Kiai Imad dan yang menolak pembatalan nasab Ba’alawi adalah para habaib dan muhibbin. Melalui melubernya informasi tentang pro-kontra ini tentu membuat kelompok Ba’alawi merasa tersudutkan.
Kedua, berita yang terkait dengan Mu’tamar Luar Biasa (MLB), yang digagas oleh beberapa orang yang “merasa” tidak puas atas duet kepemimpinan NU, Gus Yahya dan Gus Ipul. Pemberitaan ini berkait kelindan dengan kebijakan PBNU, yang melakukan pemberhentian atas beberapa fungsionaris NU baik di pusat maupun di daerah. Di PBNU atau PWNU. Termasuk keinginan PBNU untuk “mengatur” PKB. Bahkan dianalisis bahwa PBNU secara tidak langsung berkeinginan untuk melakukan Munas Tandingan PKB di Jakarta, yang seharusnya digelar pada 1-3 September 2024. Berbagai kebijakan tersebut memicu keinginan untuk mengembalikan NU pada relnya sebagai Jam’iyah Diniyah wa ijtima’iyah dan bukan Jam’iyah yang bernuansa politikiyah atau siyasiyah. Mereka bertemu di Pesantren Syaikhona Kholil untuk memberikan respon atas kebijakan-kebijakan PBNU. Terdapat rekomendasi PBNU melalui tim khusus Penyelamatan PKB versus rekomendasi Forum Penyelamat NU.
Ketiga, berita tentang Presidium Penyelamat NU akan menyelenggarakan Pra Muktamar Luar Biasa (MLB) pada awal bulan Oktober. Pra MLB dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan MLB. Menurut Gus Salam (KH. Abdus Salam Shohib), koordinator MLB NU akan melakukan kegiatan menyerap informasi di daerah-daerah. Gus Salam menegaskan bahwa timnya akan melakukan kunjungan ke PWNU dalam kerangka menyiapkan segala sesuatunya di dalam MLB yang akan diselenggarakan sebelum berakhir tahun 2024. (detikjatim. 12/09/2024).
Keempat, pemberitaan tentang pembangkangan pimpinan Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabarah An Nahdhiyah (JATMAN), yang dipimpin oleh Habib Luthfi Pekalongan. PBNU akan menyelenggarakan pertemuan di Hotel Bumi Surabaya, 19/09/2024. PBNU akan mengundang para pengurus Idaroh Wustha tanpa melibatkan pimpinan pusat. Surat ke pimpinan Idarah Wustha sudah dilayangkan pada 10/09/2024. Akan tetapi kemudian beredar pula surat yang dikeluarkan oleh Pimpinan JATMAN agar tidak menghadiri acara dimaksud. Surat Edaran tersebut ditandatangani oleh Habib Luthfi selaku pimpinan atau Rois Am JATMAN agar para pimpinan Idarah Wustha tidak menghadiri acara tersebut karena dianggap akan dijadikan sebagai ajang untuk mengudeta pimpinan JATMAN. (duta.com). Tiga isu yang menjadi polemik adalah keterputusan sanad, pemalsuan sejarah dan perebutan makam leluhur.
Meskipun tidak secara langsung, akan tetapi PBNU tentu saja menjadi bagian tidak terpisahkan dari polemik ini. Perdebatan ini adalah perdebatan intra organisasi NU. Keduanya merupakan bagian dari warga NU. Ada individu dari kelompok Ba’alawi yang menjadi pimpinan dan anggota organisasi NU, demikian pula pengagum Kyai Imad juga ada yang menjadi pimpinan NU dan warga NU. Bahkan muncul organisasi-organisasi yang bervisi untuk menyelamatkan dzurriyah Walisongo dalam kontestasinya dengan Rabithah Alawiyah, habaib dan muhibbin.
Ada banyak orang yang prihatin dengan NU dewasa ini. NU mendeklarasikan diri sebagai pilar Islam wasathiyah, Islam yang memberikan pengayoman atas kaum Nahdhiyin bahkan orang lain, tetapi sekarang berada di tubir jurang. NU dipaksa untuk memilih dalam pilihan yang sulit terkait dengan realitas sosial di hadapannya. NU harus memilih menyelamatkan yang pro Kiai Imad atau para habaib yang kebanyakan juga warga NU. Benar-benar buah simalakama. Membela yang satu dan menolak lainnya. Selain juga harus menghadapi masalah-masalah internal organisasi yang relatif pelik.
Konflik ini jika dianalisis sesungguhnya merupakan konflik otoritas, sesuai dengan pikiran Ralf Dahrendorf. Satu dengan lainnya merasa sebagai yang paling berhak. PBNU merasa yang berotoritas untuk mengatur JATMAN karena merupakan Badan Otonom di bawah PBNU, sementara itu Habib Luthfi sebagai pemimpin JATMAN juga merasa bahwa organisasi ini sedang berada di dalam otoritasnya.
Pertarungan ini kurang lebih juga sama dengan konflik antara PBNU dengan PKB. PBNU merasa bahwa PKB adalah sayap politik NU, sementara itu PKB merasa sebagai partai yang independent. Di sisi lain, PBNU dan Presidium Penyelamat NU juga memiliki kemiripan. Keduanya merasa sebagai pihak yang berotoritas di dalam kelangsungan NU sebagai organisasi social keagamaan.
Sayangnya bahwa “genderang perang” itu sudah ditabuh dan keduanya sudah siap untuk saling mengalahkan. Rasanya sudah sampai pada pernyataan: ini NU-mu bukan NU-Kita, ini NU-ku dan bukan NU-Kita.
Masing-masing secara otoritatif saling mengklaim akan kebenarannya. Padahal yang kita butuhkan adalah NU-Ku, NU-Mu, lalu menjadi NU-Kita. Benarkah sudah tidak ada lagi tabayyun, benarkah sudah tidak ada peluang untuk duduk bersama, benarkah sudah tidak ada negosiasi. Ini kondisi NU kita dewasa ini. Tentu masih ada harapan, bahwa yang berfaksi-faksi di dalam NU tersebut pada ujung akhirnya akan kembali kepada kesatuan visi untuk menegakkan Islam ahli sunnah wal jamaah di bumi Nusantara. Wallahu a’lam bi al shawab.
Prof. Dr. Nur Syam, MSi, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
0 Komentar